Aku Hampir Mati Karena Antibiotik (Part 1)

Tidak terasa sudah tepat 23 hari aku tidak masuk kampus karena lagi-lagi sakit dan harus istirahat total di rumah orang tua. 5 hari dirawat di rumah sakit dan setelahnya aku memilih rawat jalan dengan peringatan dokter harus rutin check up ke rumah sakit atau ke prakteknya. untuk seminggu pertama rawat jalan aku diberi 4 jenis obat.

Ini adalah kali ke-5 dalam hidupku dimana aku “terpaksa” menginap berhari-hari di rumah sakit karena penyakit yang aku alami. Pertama, ketika aku berumur 11 bulan dengan serangan diare akut pada bayi, kedua, ketika aku berumur 16 tahun dibawah perawatan dokter syaraf karena serangan vertigo yang terus-menerus, ketiga, ketika aku berumur 17 tahun, waktu itu aku benar-benar hampir kehabisan nafas karena serangan asma yang aku derita sejak kecil tiba-tiba kambuh, keempat, ketika aku berumur 18 tahun dengan serangan gejala tifus dan yang kelima ini adalah penyakit usus buntu yang mewajibkan aku untuk melakukan operasi.

Kesemua cerita yang di atas adalah sakit-sakit parah yang memang “terdefinisi” dengan jelas. Bukan sekali dua kali aku nyaris putus asa karena kesehatan yang bisa dibilang sejak kecil tak pernah bisa di katakan SEHAT. Ya, aku hampir tak pernah merasakan tubuh yang benar-benar sehat. Iri rasanya melihat orang lain yang justru JARANG SEKALI sakit, sekalinyapun sakit, hanya butuh waktu sebentar untuk pulih lalu kembali normal kembali. “Ya Allah, bisakah aku juga seperti mereka? Kalau bisa, kapan?” Aku terus bertanya dan merengek padaNya.

Terkadang adakalanya kita tak mampu bahkan memang tak ada kata yang mampu menggambarkan perasaan yang sedang kita rasakan. Inilah yang sedang terjadi padaku saaat ini. Sedihku, kecewaku, rasa ingin menyerah, perasaan bersalah dan semua perasaan negatif lainnya berbau menjadi satu, menjadi ikatan rasa yang kuat dan tak mudah untuk diputuskan apalagi di hancurkan. Aku tak punya gunting untuk memutuskan ikatan rasa itu, yang ada hanya seujung kuku optimis yang setelah kucoba hanya mampu merubah sedikit warna rasa negatif itu yang tadinya hitam menjadi pucat. Lalu, apalagi?

Di lingkungan keluarga pun tak jarang aku minder, aku anak sulung dikeluarga. Anak yang paling berbeda dari segi apapun. Aku paling banyak dan paling sering menghabiskan uang dan perhatian kedua orang tuaku untuk penyakit-penyakit yang datang silih berganti. Aku tumbuh menjadi anak yang sangat introvert, pemalu, pendiam, pendendam, pemendam dan sangat sensitif. Kadang, ketika orang tua ku marah, mereka mengungkit-ungkit jasa mereka yang telah kelewat susah mengurusi aku yang penyakitan dari kecil. Begitupun dengan saudara-saudara kandungku yang “marah” dan merasa orang tuaku berlebihan memperhatikan aku. Aku hanya diam dan MENANGIS. Ya, karena aku sangat sensitif, aku jadi banyak menghabiskan waktu untuk menyalahkan diriku sambil menangis. Seisi rumah bilang aku “aneh”. Aku yang cengeng, sensitif, anak rumahan, males bergaul, kutu buku, penyakitan, dll. Ya, makasih dan aku jawab dengan tangisan.

***

Aku merasakan tubuhku mulai membaik, aku tak serewel kemarin ketika baru siap dioperasi. Di hari kedua ini aku mencoba untuk sedikit-sedikit bergerak, miring kiri & kanan, meski masih sangat sakit, tapi aku tergolong cepat dari rata-rata pasien pasca operasi lainnya. Hari kedua itu pun aku langsung dapat tegak dan dan duduk dalam waktu yang lumayan lama. Aku senang, setidaknya dengan kemajuan yang cepat ini aku bisa cepat keluar dari rumah sakit ini, cepat kembali ke medan dan kuliah. Begitulah yang ada dipikiranku saat itu.

Ternyata Tuhan berkehendak lain, kehendak yang sangat sangat tidak terduga. Dari kejadian itu lekat kenangan, pengalaman dan trauma yang luar biasa dalam diriku.

Jam 13.45 Minggu, 11 Maret 2012

Aku tersadar dari tidur siangku. Aku bermimpi sesuatu yang aneh namun  tak mampu mengingatnya, bangun tersentak dengan mata yang langsung terbelalak layaknya orang yang tengah kerasukan. Aku merasakan sekujur tubuhku kaku, mendingin, perlahan-lahan kuku, bibir, wajah dan jari-jariku memutih bak mayat. Kakiku tertekuk dan aku tak mampu meluruskannya untuk telentang. Aku merasakan kedinginan yang amat sangat, sangat sangat dingin tetapi aku sadar bahwa suhu tubuhku tidaklah dingin, mencapai 400 C. Ya, aku hampir step. Lidahku memendek membuatku tak bisa berkata-kata, gigiku bergemeretak, beradu karena begitu dinginnya yang aku rasakan, seluruh tubuhku gemetar kuat bahkan tempat tidur tempat aku berbaring pun bergoyang dengan kuat. Aku tak bisa melafazkan apa-apa kecuali hatiku. Kejang hebat. Aku paksakan lidahku untuk bisa berkata-kata, setidaknya untuk menjawab sahutan ibu dan ayahku yang terus-terus menanyakan “kak, apa yang sakit?”. Innalillah, aku tak mampu. Aku berusaha terus, itu juga yang menambah sakit yang kurasakan, aku terus-terus mengerang kesakitan, menggigil dan seluruh sendi-sendiku terasa sangat sakit seperti sedang dilumpuhkan oleh sebuah kekuatan besar.

“s..s..s..s..ssaaa….kkk…iiiiittttt, maaa..laaamaaa kaaa…liiii..saaa… kkkiiittt…ggg..aaakkk..kkkkkuu..aaaaaa..tttt” aku bisa mengeluarkan suara yang sedikit lebih jelas berbentuk kata.

Aku tak tahu apa yang sedang terjadi padaku. Tapi aku seolah-olah tak mau berhenti menatap langit-langit ruangan kamar tempat aku di rawat. Putih, bersih dan indah, bayangan yang cantik. Tapi Terkadang ia berganti menjadi hitam, jelek dan menakutkan. Nafasku sampai tersengal-sengal ketika yang kulihat itu adalah bayangan jelek itu. Aku masih sadar ketika berkali-kali tangan ayahku mencoba memberikan isyarat ke mataku untuk tidak melihat ke atas, begitu juga dengan orang-orang yang berada disekitarku, aku mendengar mereka mengucapkan Kalimat-kalimatullah, aku mendengar ibuku menangis, aku mendengar semakin banyak orang yang datang, mereka menyapaku, kulihat mereka tersenyum, tapi Mengapa mereka semua menangis, satu hal yang aku sesalkan, aku tak bisa lagi mengenal mereka, bahkan aku keliru ketika ada sosok wanita yang datang padaku beberapa menit kemudian, beliau bertanya “kak, ini siapa?” aku menggeleng, wajah mereka sama semua. Ternyata ketika aku sadar, yang bertanya itu adalah Ibuku. Aku tak lagi mengenal siapapun. Ada seorang ustadz yang juga saudara dekat dengan ayahku, beliau mendekati telingaku, mengucapkan “laillahaillallah, asyhaduallah ila haillallah”. Aku nyaman sekali mendengar Kalimat itu, tapi aku tak mampu mengikutinya. Hati ku pun tak mampu, aku hanya terus mengucapkan “allah…allah”, hanya kata sependek itu yang aku mampu. Kata-kata itu indah, aku ingin mengucapkannya. Seseorang meluruskan kakiku, badanku melembut, gemetarku mulai berkurang, desahan nafasku mulai tak terdengar dan mulutku telah tertutup. Aku merasakan seolah-olah seperti kapas yang ingin terbang melayang di angkasa, ringan sekali rasa badan ini, tiba-tiba tempat tidur ini terasa sangat nyaman bagiku. Terdengar Suara-suara orang melantunkan kata-kata arab yang sangat menenangkan. Tiba-tiba aku kaku selama beberapa detik, dan setelah itu aku menutup mataku.  Aku koma.

Dalam tidur komaku, aku bermimpi. Benarkah itu mimpi? Rasanya tidak, aku seperti sedang menonton sebuah slide hitam putih, di dalam slide itu diputar semua kejadian dalam hidupku, mulai dari aku kecil hingga beberapa menit yang lalu sebelum aku tertidur. Aku melihat semuanya dalam rekaman itu. Betapa lucunya aku ketika kecil. ya, mulai dari hal-hal yang lucu, bahagia, bangga, hingga hal-hal yang membuat aku menangis, tertekan, depresi, takut, marah dan tersiksa. Aku juga diperlihatkan akan dosa dan kebaikan yang pernah aku lakukan.

Tapi sayang, ketika slide itu selesai, aku malah menangis, betapa ternyata dalam hidupku, aku banyak sekali mengalami kejadian yang membuatku menangis, tertekan dan merasa ter’asing’. Hanya beberapa kali aku tertawa lepas, membuat lelucon dan bergembira. Ya Allah, benar ini jalan hidupku?

Aku bertanya kepada sebuah bayangan putih, “siapa yang membuat slide ini?”

Bayangan itu diam. Aku bertanya lagi “aku ingin bertemu dengan Allah, aku ingin bertanya tentang ini semua” aku seperti anak umur 5 tahun yang menginginkan sesuatu dengan lantang. Dia menjawab “belum waktunya”. Suaranya bergema, semakin lama semakin pelan dan menghilang.

Aku sadar dari tidur panjangku jam 19.30 ketika waktu masuk shalat isya. Aku merasakan kelelahan yang luar biasa. Belum sepenuhnya sadar, aku diberi air putih hangat oleh Ibuku. Badan hingga alas aku tidur semuanya basah, kain-kain itu dapat diperas, aku berkeringat layaknya mandi. Aku beristighfar berkali-kali.

***

Aku rajin membaca dan mencari tahu apa yang sedang terjadi pada diri ini dan Mengapa hal ini bisa terjadi padaku. Kenapa aku mudah sekali terserang penyakit, kenapa badanku lemah sekali, kenapa aku sampai koma, kenapa dan kenapa? Benarkah tuduhan mereka aku anak yang bandel, yang tak mau menjaga kesehatan dengan baik. Ya Allah, sedih sekali rasanya jika aku mendengarkan tuduhan itu, betapa aku sangat-sangat memperhatikan makanan yang ingin aku Konsumsi, aku senagaja membaca buku-buku gizi & kesehatan agar mengerti bagaimana merawat dan menjaga kesehatan tubuh.

Akhirnya aku tahu. Seorang suster diam-diam mengatakan padaku, penyebab aku koma adalah keracunan obat antibiotik. Dia menyebutkan nama sebuah antibiotik. Aku merasa benar-benar sangat terpukul karena sebelumnya aku telah mengatakan bahwa aku alergi dan tubuhku tak mampu menerima antibiotic jenis itu. Astagfirullah..

Aku benar-benar trauma dengan kejadian ini. Aku benar-benar trauma. Aku berjanji dalam hati untuk tidak mau lagi mengkonsumsi obata-obatan medis dan aku akan berupaya untuk menjauhi yang namanya dokter, karena bukan sekali ini saja aku menjadi korban percobaan mereka, melainkan telah BERKALI-KALI. Dan kesalahan dokter dimasa kecilku jugalah yang telah membuatku penyakitan seperti sekarang ini. Sungguh, hatiku benar-benar marah. Marah sekali. Aku menjadi semakin benci dengan hal-hal yang berbau medis. Wujud dari kebencian dan trauma mendalam itu adalah dengan membuang semua obat rawat jalan yang diberikan oleh pihak rumah sakit kepadaku. Aku meyakinkan diriku untuk sehat se sehat-sehatnya tanpa OBAT MEDIS, aku memilih cara diet sehat, olahraga teratur dan minum obat-obatan yang alami.

*bersambung ke part 2

2 thoughts on “Aku Hampir Mati Karena Antibiotik (Part 1)

  1. 😦 Subhanallah… sedih sekali ketika membaca ini dek..
    Tapi… alangkah lebih baiknya kita menjaga pola hidup kita dengan teratur, mulai dari hal2 kecil.. 😉 semoga diah tetap dalam keadaan sehat wal’afiat.. semoga Allah memberikan rasa Sehat yang diah inginkan selama ini… Diah tidak salah.. Dokter juga tidak salah.. tetep bersyukur apa yang diah dapat rasakan sekarang ya.. 😉 Allah yubarikfih.. :*

  2. jadi takut mengkonsumsi antibiotik lagi, sedangkan saya diwajibkan dokter untuk menahan dan mengurangi rasa sakit yg saya rasakan 😦

Write Your Words